Selasa, 24 Oktober 2017

Jadikan Mahasiswa Berakhlak Mulia dengan Peskil Akademi

Tags

Makassar, Pusdamm-Sebanyak 397 mahasiswa muslim mengkikuti Pesantren Kilat (Peskil) Akedemi di masjid Ulil Albab FBS UNM pada Sabtu (21/10) kemarin.

Kegiatan tersebut mengangkat tema “menjadi generasi cerdas berakhlak mulia dengan Al-Qur’an.”Kegiatan ini adalah upaya dari salah satu lembaga dakwah, Pusat Studi dan Dakwah Mahasiswa Muslim Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (Pusdamm BEM FBS UNM) untuk menjadikan mahasiswa, khususnya mahasiswa baru untuk cinta terhadap Al-Qur’an.



Pusdamm BEM FBS UNM menghadirkan PD III FBS UNM, Dr. Abdul Halim, M.Hum. sebagai keynote speaker. Selanjutnya, LDF tersebut menghadirkan Ustad Askar Yaman dan Ustad Syamsuar Hamka sebagai pemateri.

Dilansir dari lingkardakwah.com, Pesantren Kilat Akademi ini telah didukung dan bekerjasama dengan pihak birokrasi FBS UNM dan Dosen Mata Kuliah Umum (MKU) Pendidikan Agama Islam (PAI).

Di samping itu, Pembantu Dekan III, Abdul Halim sangat mengapresiasi adanya kegiatan ini serta sangat senang Pusdamm BEM FBS UNM mengadakan kegiatan seperti ini.

“Bagus Sekali, karena ini adalah salah satu upaya Pusdamm sebagai biro dari BEM FBS UNM ini untuk mengadakan kegiatan islamiah,” ungkapnya saat ia hendak memasuki mobil.


PD III saat diberi piagam oleh Ketua Umum Pusdamm BEM FBS UNM

Salah satu peserta Peskil Akademi, Achmad Ridwan senang pihak biokrasi mendukung kegiatan ini.

“Kami (baca: peserta) sangat bersyukur karena beliau memberikan ruang bagi acara ini,” ucap mahasiswa yang kerap disapa Ridwan ini.

Erwin selaku Ketua Umum Pusdamm BEM FBS UNM berharap agar mahasiswa tidak hanya cerdas, tapi mampu untuk berakhlak mulia.


Reporter:  Anggota Departemen Syiar Pusdamm BEM FBS UNM

Jumat, 13 Oktober 2017

Pemberian Nama dalam Islam

Tags
Oleh Sumadi Al Jawiy, S.Pd.

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini (Islam). Mulai dari hal yang besar hingga hal yang kecil pun telah ditetapkan aturannya (baca: syariat).

Persoalan nama adalah hal yang penting dalam Islam. Oleh karena pentingnya, pemberian nama pun ada syariatnya. Jika kita sering mendengar dimasyarakat "apalah arti sebuah nama?", yang mengindikasikan bahwa nama itu tidak penting, Islam dengan syariatnya berlawanan seratus delapan puluh derajad dari hal itu. Nama sangat penting. Nama adalah identitas sesuatu, sehingga dengan nama itu kita dapat mengenal satu sama lain.

Islam mensyariatkan agar memberi nama yang baik dan melarang memberikan nama yang buruk kepada anak. Sebab, nama adalah doa. Tentu saja semua ingin didoakan yang baik.

Rasulullah sebagai teladan terbaik umat manusia tidak pernah main-main dalam nama. Tidak ada satu pun putra beliau shalallahu ailaihi wasalam diberi nama yang buruk. Beliau juga tidak segan mengganti nama sahabat jika nama itu tidak baik. Pernah suatu ketika beliau bertemu dengan seorang wanita, beliau menanyakan nama wanita tersebut. Wanita itu menjawab bahwa namanya adalah 'Ashiyah (عاصية), yang berarti wanita yang bermaksiat. Beliau pada saat itu juga mengganti nama wanita itu dengan Jamilah, yang berarti cantik.

Bukan hanya nama yang buruk saja yang harus diganti. Nama yang terdengar aneh pun dianjurkan untuk diganti. Satu kisah, ketika ada seseorang menemui nabi, nabi bertanya nama orang tersebut. Orang itu bernama Syihab, yang berarti panah-panah api. Nama tersebut kurang nyaman didengar, sehingga Rasulullah menggantinya menjadi Hisyam (orang yang dermawan).

Di keluarga Rasulullah, Rasulullah mempunyai dua orang istri bernama Barroh (yang berarti kebaikan), diganti juga oleh Rasulullah. Sebab, beliau tidak ingin jika suatu saat ada yang berkata
 خرج رسول الله من بره
(Rasulullah keluar dari Barroh). Yang mungkin maksudnya adalah Rasulullah keluar dari rumah Barroh. Namun, jika orang kafir yang mendengar kalimat itu, mungkin mereka akan menafsirkan bahwa Rasulullah telah keluar dari kebaikan (yang berarti menuju ke keburukan/kejahatan). Rasulullah mengganti nama istri beliau menjadi Zainab, yang berarti pohon yang rindang dan manis buahnya, dan Barroh yang satunya menjadi Juwairiyah.

Fathimah bintu Rasulullah ketika melahirkan anak pertamanya, Rasulullah bertanya kepada Ali bin Abu Tholib tentang nama yang diberikan kepada anaknya. Ali menjawab bahwa nama anaknya adalah Harb (perang). Ali adalah panglima perang yang tangguh. Tentu mempunyai cita-cita yang tinggi agat keturunannya dapat menjadi panglima perang yang tangguh pula. Namun, Rasulullah tidak setuju dengan nama itu. Beliau menggantinya dengan nama Hasan. Anak kedua Ali pun diberi nama Harb olehnya, tetapi Rasulullah menggantinya lagi menjadi Husain.

Sebagai umat Islam, sudah wajibnya kita mengetahui tentang pentingnya memberi nama yang baik kepada anak. Dilarang memberi nama: Allah, Rahman, Syaithon/Setan, Iblis, Dajjal, Dasim (setan penunggu dan penggoda rumah tangga), Dasimah (setan perempuan penggoda rumah tangga).

Nama yang dianjurkan adalah nama-nama nabi, sahabat, dan asma Allah yang didahului kata Abdu (Abdullah, Abdurrahman, Abdurrohim, Abdul Aziz, dsb.). Perlu diketahui, oleh karena dilarangnya memberi nama Rahman, jika ada orang yang bernama Abdurrahman, juga dilarang memanggilnya Rahman. Memanggilnya harus lengkap.

Bagaimana dengan nama julukan (karan dalak bahasa Jawa)? Dilarang juga menjuluki seseorang/teman dengan nama yang buruk. Apalagi jika orang tersebut tidak ikhlas. Fenomena di masyarakat Indonesia, suka menjuluki teman akrab dengan nama yang buruk (Kepet, kampret, dsb.). Mari kita ubah panggilan mereka! Mari beradab kepada mereka!
Wallahu a'lam

Sengkang, 25 September 2017

Rabu, 11 Oktober 2017

Mengukur Keimanan (Bagian 2)

Tags
Oleh Sumadi Al Jawiy, S.Pd.

Pada artikel sebelumnya, penulis telah memaparkan ciri-ciri orang yang bertakwa yang ditengarai dengan beriman kepada yang ghaib dan mendirikan sholat. Pembahasan tentang sholat membutuhkan pembahasan tersendiri yang terpisah dari judul ini. Insyaallah akan dibahas kemudian. Pada kesempatan kali ini, penulis melanjutkan pembahasan yang lalu.

Setelah beriman kepada yang ghaib dan mendirikan sholat, kata iman di Surah Al Baqarah ayat ketiga disambung dengan menginfakkan sebahagian rizki yang Allah anugerahkan.

Infak (termasuk di dalamnya zakat dan sedekah) telah sering kita dengar istilahnya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering kita jumpai sarana untuk berinfak, kotak infak masjid contohnya. Kedudukan infak dalam Islam sangatlah penting. Infak merupakan sarana menyucikan harta bagi muslim yang mampu sekaligus bantuan untuk para fakir dan miskin. Dengan adanya infak jalinan persaudaraan (ukhuwah islamiah) antara orang yang berada dan orang yang papa akan terbangun erat. Pertemuan di antara mereka akan menghilangkan sekat-sekat kebencian dan permusuhan antarmuslim.

Infak dapat mengukur keimanan, terutama kepada orang yang berada bahwasanya tidaklah infal itu mengurangi harta, melainkan semakin menambah harta yang dimiliki. Bagi yang kuat keimanannya tentu percaya dengan hadis ini, tetapi bagi yang lemah iman tentu kepercayaannya berkurang karena secara lahir harta itu berkurang ketika dikeluarkan (diinfakkan).

Infak juga dapat dijadikan alat ukur keimanan ketika terjadi musibah/bencana yang menimpa saudara muslim kita. Penderitaan saudara muslim di Ghaza, Aleppo (beberapa waktu yang lalu), dan Rohingya, misalnya, seberapa prihatinkah hati kita? Tergerak keinginan untuk membantu merekakah kita? Atau malah sibuk mencari pembenaran pihak yang menyengsarakan mereka?

Wallahu a'lam

Mengukur Keimanan (Bagian 1)

Tags
*Oleh Sumadi Al Jawiy, S.Pd.

Iman merupakan hal yang paling vital dalam kehidupan. Iman ibarat jantung dalam organ tubuh. Tanpa adanya iman, kematian terjadi secara batiniah, walaupun secara lahiriah masih hidup.

Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Rabb (pelindung) senantiasa mengingatkan hamba-Nya untuk menjaga dan meningkatkan keimanan. Untuk mengetahui tingkat keimanan kita, Allah telah memberikan tolok ukur keimanan. Alquran dan sunah (baca: hadis) merupakan alat ukur (measurement tools) keimanan kita. Untuk mengukurnya, kita dapat membandingkan keadaan kita dengan kriteria orang-orang beriman di dalam Alquran dan sunah.

Ayat pertama yang kita jumpai di dalam Alquran yang berbicara masalah iman adalah surah Al-Baqarah ayat 3-4.

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka; dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Terjemah Qs. Al-Baqarah: 3-4)

Ciri orang beriman yang pertama adalah beriman kepada yang ghaib. Beriman kepada yang ghaib bukan hanya berarti bahwa Allah, malaikat, jin, dan hari akhir itu ada, tetapi juga harus meyakini Allah dengan segala sifat dan kekuasaan-Nya, adanya malaikat dan tugas-tugasnya, adanya jin beserta sifat-sifatnya, adanya kematian, siksa dan nikmat kubur, penghitungan amal, surga dan neraka beserta hal-hal yang menyebabkan manusia masuk ke dalamnya.

Ciri orang beriman berikutnya adalah mendirikan shalat. Allah selalu menggunakan kata mendirikan/dirikan (قام) untuk kata shalat. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Jikalau kita belajar biologi, sesuatu untuk dapat berdiri dengan kokoh perlu daya guna yang kuat untuk menyokongnya. Pohon dapat berdiri kokoh dengan batang yang besar, daun yang rimbun, dan buah yang lebat karena mempunyai akar yang menghunjam kuat, panjang, dan menjalar ke dalam bumi. Manusia dan hewan untuk dapat berdiri perlu tulang, otot-otot, syaraf-syaraf, dan seluruh anggota tubuh yang bekerja dengan maksimal untuk menopang badan. Begitu pula dengan shalat. Perlu usaha yang maksimal pula agar shalat dapat berdiri dengan kokoh dan terjaga dengan baik. Begitu banyak orang yang kuat dalam angkat besi, menang dalam lomba lari, sering mendaki gunung, dan kuat dalam aktivitas fisik lainnya, tetapi tidak kuat untuk berdiri melakukan shalat.

Manusia dengan berbagai keragamannya, berbagai ragam juga tingkat keimanannya. Terhadap shalat, ada orang yang bersungguh-sungguh mendirikan shalat, bahkan sampai menyesal jika ketinggalan satu shalat sunah saja. Sementara itu, ada yang tenang-tenang saja ketika ketinggalan shalat wajibnya, bahkan merasa tenang meninggalkan shalat. Padahal, shalat adalah perkara yang pertama kali dihisab di hari kiamat.
Karena pentingnya masalah shalat, imam Syafi'i berkata, "Apabila engkau menjumpai orang yang tidak shalat, maka bertakbirlah empat kali kepadanya!" Hanya orang yang matilah yang ditakbiri empat kali. Ini berarti jikalau tidak shalat, laksana orang yang telah mati.

Seberapa besar keimanan Anda? Ukurlah dengan shalat!

Bersambung, InsyaAllah.

*Penulis merupakan anggota MSO (Majelis Syuro Organisasi) Pusdamm UNM (Pusat Studi dan Dakwah Mahasiswa Muslim Universitas Negeri Makassar)

Minggu, 01 Oktober 2017

Pentingnya Dakwah Fardiyah

Tags
(MATERI PELATIHAN DAKWAH FARDIYAH, 30 SEPTEMBER 2017, MASJID ULIL ALBAB FBS UNM)

Ustad Erwin Ardiansyah, S.Pd.


Pengertian Dasar
Secara bahasa, dakwah berarti seruan/panggilan, permintaan dan permohonan. Sedangkan secara istilah, dakwah berarti memanggil manusia kepada Allah dengan baik sehingga beriman kepada Allah dan bertauhid kepadaNya.
Adapun dakwah fardiyah secara bahasa yaitu aktivitas dakwah yang dilakukan secara personal (individu). Sedangkan secara istilah dakwah fardiyah berarti ajakan atau seruan kepada Allah Swt. yang dilakukan seorang da’i kepada orang lain secara individu dengan tujuan memindahkan mad’u (target dakwah) kepada keadaan yang lebih baik yang diridhai oleh Allah Swt.

Metode Dakwah
1.       1. Lewat tulisan; yaitu mengajak manusia kepada Allah Swt. melalui sebuah tulisan. Misal pamfet dakwah.
2.       2. Lewat media sosial (social media); yaitu mengajak manusia kepada Allah Swt. melalui media sosial seperti facebook, instagram, Line, dan lain sebagainya. Metode ini adalah metode yang paling efektif karena mengingat sekarang kita berada dalam era digital.
3.    3. Dakwah fardiyah; yaitu dilakukan secara personal/individu. Metode ini juga cukup ampuh dalam berdakwah karena seorang da’i bisa mengenal mad’u nya secara mendalam.

Esensi Dakwah Fardiyah
Dalam berdakwah fardiyah, haruslah bergerak dengan kualitas yang baik. Dakwah fardiyah merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seluruh aktivis dakwah.

Tujuan Dakwah Fardiyah
Adapun tujuan dakwah fardiyah yaitu membentuk sumber daya manusia dalam sebuah pergerakan kepada Allah secara jamaah. SDM yang dimaksud adalah aktivis dakwah yang memiliki kualitas.
Dakwah adalah hal yang paling penting dalam kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt.:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104)

Karakteristik Dakwah Fardiyah
1.    Adanya bincang-bincang dan tatap muka;
2.    Bersama mad’u;
3.    Kontinyu (bekelajutan);
4.    Mudah;
5.    Mengungkap potensi dan bakat mad’u.

Prioritas Dakwah Fardiyah
1.    Antara seorang muslim dan non-muslim, maka utamakan yang muslim;
2.    Antara yang terdekat dan terjauh, maka utamakan yang terdekat;
3.    Antara yang muda dan tua, maka utamakan yang muda;
4.    Antara yang tawadhu dan sombong, maka utamakan yang tawadhu;
5.    Antara belum memiliki jamaah dan yang sudah, maka utamakan yang belum memiliki jamaah;
6.    Antara yang memiliki wawsan luas dan sempit, maka utamakan yang memiliki wawasan luas;
7.    Antara seprofesi dan beda profesi, maka utamakan yang seprofesi;
8.    Antara orang yang memiliki pengaruh dan tidak, maka utamakan yang memiliki pengaruh.

Akhlah yang Harus Dimiliki Da’i dalam Dakwah Fardiyah
1.    Keteladanan; seorangaktivis dakwah harus bisa menjadi teladan bagi mad’u kita. Misal, prestasi, dan lain-lain.
2.    Ikhlas; yaitu berdakwah karena Allah, bukan karena organisasi.
3.    Sabar; yaitu bersabar dalam melihat sifat mad’u yang tidak disenangi.
4.    Optimis dan tsiqoh (percaya) kepada Allah; boleh jadi dari satu orang yang gagal diajak dalam kebaikan, menjadi sebab Allah mendatangkan banyak orang untuk ikut dalam kebaikan yang kita seru.
5.    Memahami agama; merupakan bekal penting bagi seorang da’i dalam berdakwah fardiyah.
6.    Berkorban; yaitu untuk mengantarkan mad’u ke dalam kebaikan.
7.    Sikap antisipasi gagal dakwah; hal ini bertujuan agar tidak kecewa ketika mad’u kita tidak diberikan hidayah.
8.    Lebih dari satu mad’u; jika kita gagal memberikan seruan kepada seorang mad’u, maka masih banyak yang lain yang harus diseru oleh seorang da’i.
9.    Penuh perhitungan dan tidak tergesa-gesa; langkah-langkah dakwah fardiyah  yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi mad’u.
10. Berlemah lembut; contoh dakwah nabi Musa as. kepada Fir’aun dengan cara yng lembut, contoh lain dakwah nabi kepada seseorang Badui yang buang air di masjid.
11. Menjaga ukhuwah; dengan cara memberikan haq-haq (hak-hak) seorang muslim.
12. Bekerja sesuai tujuan; tujuan dakwah fardiyah adalah mengajak mad’u untuk dilibatkan dalam halaqah tarbiyah.
13. Menjadikan dakwah sebagai kesibukan utama; apapun kedudukan kita dalam keseharian, maka jadikan dakwah sebagai tujuan utama.
14. Menyadari bahwa hidayah itu milik Allah; berdoa kepada Allah agar mad’u kita diberikan hidayah oleh Allah.

Cara Melakukan Perkenalan dengan Mad’u
1.    Jangan sampaikan pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak sehingga percakapan bisa berlangsung lama.
2.    Menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Dengan bertanya seputar diri mad’u tersebut.
3.    Perbincangkan seputar hal yang umum, yang sesuai dengan kondisi mad’u (misal hobi).
4.    Jika sudah akrab, berikan pertanyaan yang mendalam seputar bakatnya, sehingga bisa memiliki bayangan tentang posisinya dalam kerja-kerja dakwah.
5.    Saling berkunjung.
6.    Ikutkan ke daurah.

Untuk materi versi audio, silakan klik tautan di bawah ini:


Departemen Syiar
PUSDAMM BEM FBS UNM