Rabu, 22 November 2017

Tingkatkan Sinergitas Pusdamm Melalui Musyawarah Pleno II

Tags


Makassar, Pusdamm-Sebanyak 15 orang menghadiri musyawarah pleno yang kedua di sekretariat Pusdamm BEM FBS UNM, BTN Tabaria C1/7, Tamalate, pada Selasa (21/11).

Musyawarah yang bertema “Membangun Sinergitas dalam Ukhuwah Islamiyah” tersebut bertujuan untuk mengevaluasi program kerja setiap departemen. Adapun departemen yang terkait yaitu Departemen Kaderisasi, Syiar, dan Kewirasahaan.  Tidak hanya itu, pengurus inti juga melaporkan pertanggungjawaban program kerja dalam satu periode.


Ketua Umum Pusdamm, Erwin, saat membuka musyawarah pleno II

Selain itu, Majelis Syuro Organisasi (MSO) turut memberikan saran. Hal itu dapat membangun setiap departemen menjadi lebih baik.

“Kehidupan itu seperti orang yang mendaki gunung,” ujar Ruslan, MSO Pusdamm.

Dalam pelaporan tersebut, terdapat program kerja yang sudah terlaksana dan belum terlaksana. Salah satunya di departemen Kewirausahaan.


“Adapun hambatan dari program kerja tersebut, kendalanya yaitu saya (Ketua Departemen Kewirausahaan) melaksanakan KKN, jadi agak terkendala,” ungkap Muh. Amir Husain. 

Minggu, 12 November 2017

Kemanakah Dia?




Sejenak, kadang kuberfikir tentang arti seorang da’i itu. Pergeseran prinsip da’i beberapa tahun sebelumnya dengan yang sekarang sungguh sudah ada yang berubah menurut kaca mata subyektifku, banyak atau sedikitnya, wallahu a’lam. Sehingga menghadirkan perbedaan defenisi tentang da’i di zamanku dengan di zaman mereka, para assabiquna awwalun kami. Juga, telingaku yang berjumlah dua ini sering mendengar  untaian-untaian mutiara siroh dari bibir pejuang, para Assabiquna awwalun kami, sosok insan hamba Allah yang telah menorehkan tinta sejarah yang berwarna-warni, merah, putih, hitam, bahkan emas yang kemudian berpadu menjadi satu dan melahirkan segumpalan cerita, yang memotivasi diri setiap pejuang yang mendengarnya. Siroh yang memiliki makna implisit, yaitu perbandingan seorang duat kampus di zamanku dan di zamannya. Sebuah kata yang kemudian lahir dari makna implisit tersebut, menggiliat di kepalaku, terus menggeliat.. Kata itu adalah “ADAB”.

Ya betul saudaraku, Adab dari seorang muslim, yang seharusnya dimiliki oleh makhluk Nya yang telah melegitimasikan dirinya sebagai Pejuang Dakwah Kampus. Kemanakah ia pergi? Kemanakah makhluk itu bersembunyi? Apakah ia kebingungan mencari tempat yang pas untuknya bereksistensi? Karena ternyata seorang duat kampus pun tak pantas lagi ia jadikan sebagai tempat untuk bereksistensi. Tanyakan pada diri kita, apakah surah Al Ashr tak mampu lagi menjadikan kita sebagai “Pejuang Dakwah” yang On-Time ditiap ikrar perjanjian waktu Musyawarah? Apakah kita tak mampu lagi membedakan mana yang tua dan mana yang sebaya dengan kita, sehingga ilmu adab dalam bergaulpun bagai tak pernah singgah ditelinga kita? Apakah kekuatan Do’a orang yang terdzhalimi tak mampu lagi membuat kita takut untuk meminjam barang-barang saudara kita untuk megembalikannya tepat pada waktunya?? Dimana saudara kita dengan prasangka baiknya mempercayai kita bahwa kita mampu mengembalikannya tepat pada waktunya. Apakah bahaya fitnah syahwat tak lagi membuat kita takut untuk menundukkan pandangan terhadap si “DIA”? Makhluk indah Allah yang begitu “ganas” melontarkan fitnahnya. Bahkan kita merasa terbiasa dengan hal tersebut, dan tak pelak khayalan semu dan Riya menjadi bumbu penyedap dosa itu. Kita kemanakan ilmu-ilmu kita selama ini? Yang nampak… kita bagai orang-orang sekuler yang bermusyawarah, naiknya suara, terhamburnya majelis, dan sanggahan yang tak syar’i menjadi hal yang lumrah yang bisa kita temukan di majelis musyawarah para “PEJUANG”.Apakah majelis-majelis ilmu, yang Alhamdulillah sudah mudah kita dapatkan, justru dengan mudahnya pula kita lewatkan begitu saja? Merasa puaskah dengan ilmu kita? Tidak takutkah kita dengan perkataan yang kita lontarkan, merajut menjadi untaian kalimat, yang  memotivasi, menambah ilmu kita, dan yang melarang kita dari kesia-siaan dan kemungkaran, ternyata hanya dibibir saja? Hingga panutan pun menjadi barang yang langka, layaknya BBM.
Saudaraku… Ternyata aku bercerita tentang diriku sendiri.

--Abu Yusuf--
Ditengah guyuran hujan  di Desa Tonra, Kab. Gowa
Pukul 15.21 Waktu Notebook.

Departemen Syiar
Pusdamm BEM FBS UNM
1439H/2017M

Ibuku Hebat

Tags


Dia bangun di pagi buta mempersiapkan segalanya sebelum aku bangun. Bangun sebelum aku bangun dan membangunkanku untuk menghadap Rabbku. Ia kemudian mempersiapkan makanan kesukaanku dan susu putih manis yang terbuat dari lemak nabati di atas nampan bercorak bunga melati. Kemudian ia memberikanku beberapa buah nasehat sebelum aku pergi menuntut ilmu. Nasehat yang selalu menyirami dan memupuk hatiku. Sambil menasehati ia mengelus kepalaku dan memanjakanku. Dia seakan-akan menganggapku malaikat kecilnya dan aku pun senang akan hal itu. Aku rasa ibuku adalah orang yang luar biasa.

Di tempatku menuntut ilmu, aku selalu memikirkannya. Memikirkan senyumnya, caranya menatapku, caranya berbicara denganku, dan banyak hal tentang dia. Mungkin ia sedang menyapu sekarang atau mungkin juga ia sedang memperuiapkan makanan siangku, entahlah. Dia membuatku seolah-olah dapat melakukan apa saja yang kuinginkan. Entah mengapa ia sangat memperhatikanku. Setelah aku menuntut ilmu dan pulang ke rumah, ia menungguku di depan pintu rumah dengan senyumannya yang khas dan indah. Dan benar saja, makanan telah tersiap rapi dan menggugah di atas meja. Ia pun kemudian mendorong punggungku secara lembut agar aku dapat mengambil tempat di meja makan. Aku lalu menyantapnnya dengan lahap tanpa tahu dan tak mau tahu bagaimana ia bisa membuatnya. Menurutku, masakan ibukulah yang paling enak di dunia. Ia juga adalah koki yang paling cantik sekaligus ibu yang paling baik sedunia.

Ketika malam telah tiba, ia tak pernah henti-hentinya menyuruku untuk belajar dan mengulang ilmu yang telah aku dapatkan di tempatku menuntut ilmu. Ia juga tak pernah bosan-bosannya menyiapkan makanan untukku. Ia tak pernah mengeluh ketikan aku merengek meminta sesuatu. Dan ketika rasa kantuk menyerangku, ia pun kembali hadir dan membawaku ke pembaringan. Terkadang ia menceritakan sesuatu baik itu kisah atau pun pengalamannya sebagai aroma bunga untuk membuatku tidur. Apabila mataku telah tertutup, kurasakan didahiku ada sambaran ciuman lembut sembari mengelus kepalaku, sungguh begitu lembut kurasakan. Ia tak pernah terlihat lelah dihadapanku Sungguh, aku adalah anak yang paling beruntung di dunia karena memiliki ibu yang begitu luar biasa.

Kemudian aku bangun pada pagi hari ia tidak ada di depan mataku seperti biasanya. Dan ternyata, aku baru sadar bahwa ia memang tidak pernah ada. Dan aku masih di sini di rumah anak yatim piatu (panti asuhan) bersama anak-anak yang senasib denganku. Andaikan mimpiku ini jadi kenyataan. Namun apa yang bisa kulakukan, hatiku hanya bisa berteriak dan menangis bahwa andai aku memiliki ibu yang luar biasa seperti itu.
***
          Saudaraku, sadarkah kita tentang orang tua kita. Ibu kita khususnya. Dari kecil dan mungkin hingga sekarang, tak pernah henti-hentinya ia memberikan kasih sayang secara ikhlas kepada kita. Ia menggadaikan kepenatan demi kesehatan kita. Ia rela bertindak seperti pelayan demi kebutuhan kita.  Namun, coba bayangkan, apa yang telah kita balaskan terhadap ibu kita? terkadang kita selalu membantah dan berkata kasar terhadap orang tua kita. Padahal Allah telah memperingatkan kita dalam surah Al Israa’: 23:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Ini di perkuat dengan hadis riwayat Mughirah bin Syu'bah ra: ia berkata:Dari Rasulullah, beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah Taala mengharamkan atas kamu sekalian; mendurhakai ibu, mengubur anak-anak perempuan dalam keadaan hidup, (perilaku) menahan dan meminta. Dan Allah juga tidak menyukai tiga perkara yaitu; banyak bicara, banyak bertanya serta menyia-nyiakan harta “
Tanpa sadar atau memang mungkin kita sadari bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita baik itu lewat perkataan atau pun perbuatan. Dan mungkin kita tak acuh akan hal tersebut. Namun saudaraku, mari lekaslah meminta maaf pada orang tua kita atas setiap bantahan yang keluar dari mulut ini. Marilah kita berbuat baik kepada kedua orang tua kita khususnya ibu kita. Dan jangan pernah berkata bahwa apa yang telah kita berikan pada mereka cukup untuk membalasnya. Tidak wahai saudaraku. Sesungguhnya apa kita berikan padanya tidak akan pernah cukup untuk membalas jasa-jasanya, tak akan pernah saudaraku bahkan jauh lebih dari yang engkau bayangkan.
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)” Subahanalloh.
Bahkan tahukah Engkau saudaraku, Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.  Dapatkah kita meneladani mereka? Maka syukurilah bahwa kita memiliki orang tua yang tidak dimiliki oleh mereka yang berada dip anti asuhan.
          Saudaraku, semoga kita selalu menyayangi dan mendoakan orang tua kita di mana pun kita berada. Semoga pekerjaan tidak melalaikan diri kita untuk menjenguk atau bahkan memberikan pesan singkat kepada orang tua kita. Dan semoga kita dan mereka dapat bertemu di Jannah-Nya wahai saudaraku. Insya Allah.

Sumber: http://pusdamm.blogspot.co.id/2012/04/ibu-yang-luar-biasa.html

Departemen Syiar 
Pusdamm BEM FBS UNM
1439 H / 2017 M

Pencetus Koin Dirham Pertama

Tags


Ada kisah unik pada masa Khalifah Umar Ibn Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu, pada awal proses penerbitan Dirham Islam. Satu kali beliau memiliki ide untuk menjadikan uang dirham dari kulit unta sebagai nilai harga resmi. Namun dengan berbagai pertimbangan, ide tersebut akhirnya dibatalkan.

Al-Baladzuri dalam al- Buldan Wa Futûhuha wa Ahkâmuha (hal. 515), meriwayatkan: “Sesungguhnya Umar Ibn Khattab pernah berkata: saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata ‘kalau begitu unta akan punah’. Maka aku batalkan keinginan tersebut.” Imam Malik, mengkomentari hal ini dalam Al-Mudawwanah (Juz : 3): “Apabila pasar telah menjadikan kulit sebagai mata uang, maka aku tidak senang kulit tersebut dijual dengan emas dan perak.”

Setelah membatalkan pemakaian kulit unta sebagai uang, pada tahun 20 hijriah, Khalifah Umar Ibn Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu menerbitkan KOIN DIRHAM ISLAM PERTAMA DI MUKA BUMI , sesuai kadar Nuqud Nabawiyah. Standar yang ditetapkannya mengikuti ketetapan dari Rasulullah di atas yaitu: Dinar seberat 1 mitsqal = 20 qirat (4,25 gram) dengan kadar emas 22 karat, dan Dirham seberat 7/10 mitsqal = 14 qirat (2,975 gram) dengan kadar perak murni.

Rancangan awal koin Dirham yang akan dibuat berdasarkan pola Persia… Lalu oleh Khalifah Umar menambahkannya huruf Arab gaya Kufi, dengan lafaz Bismillah atau Bismillahi Rabbi di tepi lingkaran koin. Sepanjang sejarah, corak koin Dirham (dan juga Dinar) acap berubah-ubah, sesuai dengan keputusan otoritas yang menerbitkannya.

Disadur dari Kitab al-Buldan wa Futuhuha Wa Ahkamuha (hal. 515).

Sumber: http://pusdamm.blogspot.co.id/2010/10/pencetus-koin-dirham-islam-pertama.html

Departemen Syiar 
Pusdamm BEM FBS UNM
1439 H / 2017 M

Dahsyatnya Cita-cita

Tags



Suatu pagi yang cerah, di dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupa, berasal dari keluarga yang mulia. Mereka adalah Abdullah bin Zubair, Mus`ab bin Zubair, Urwah bin Zubeir dan satu lagi adalah Abdul Malik bin Marwan.

Mereka saling mengungkapkan apa yang menjadi obsesinya. 
Abdullah bin Zubair angkat bicara, “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.” Saudaranya, Mus`ab menyusulnya, “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.” Adapun Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Mu`awiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, lalu semua mendekati dan bertanya, “bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau berkata, “Semoga Allah memberkahi cita-cita kalian dari urusan dunia, aku ingin menjadi alim [orang berilmu yang mau beramal], sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabbnya, sunnah nabinya dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki jannah dengan ridha Allah l.”

Hari-hari berganti serasa cepat. Pada gilirannya, Abdullah bin Zubair menjadi penguasa atas Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka`bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu. Mus`ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah, dan akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Adapun Abdul Malik bin Marwan, akhirnya menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan bersatulah suara kaum muslimin, dia berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya. (Shuwaru min hayaatit taabi’in, Ra’fat Basya)

Begitupun, dengan Urwah bin Zubeir. Beliau menjadi ulama panutan di zamannya. Ibnu Sa’ad dalam thabaqat kedua dari penduduk Madinah menyebutkan, “Urwah adalah seorang yang tsiqah, banyak meriwayatkan hadits, faqih, alim, tsabit dan bisa dipercaya”. (Kitab at-Tahdzib). Bahkan tidak sedikit dari kalangan sahabat Nabi saw yang bertanya kepada beliau tentang ilmu, meskipun beliau seorang tabi’in.

Realita tak Jauh dari Cita-cita
Kisah keempat remaja itu membuka mata kita, bahwa apa yang didapatkan manusia, tak akan jauh dengan apa yang menjadi obsesinya. Karena obsesi dan cita-cita itu akan menggerakkan pemiliknya menuju tujuannya. Fokus pikiran, tenaga dan potensi yang dimilikinya akan tercurah untuk meraih apa yang menjadi impiannya.

Karena itu, jangan tanggung-tanggung menentukan cita-cita, jangan merendahkan diri untuk menetapkan target dan tujuan. Cita-cita yang biasa saja, akan menjelma menjadi usaha yang apa adanya, dan pada gilirannya hanya akan memanen hasil yang biasa-biasa pula. Padahal Allah menyukai urusan yang tinggi-tinggi,

إِنَّ اللهَ تَعاَلَى يُحِبُّ مَعَالِيَ اْلأُمُوْرِ ، وَيَكْرَهُ سَفاَسَفَهاَ
“Sesungguhnya Allah menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan Allah tidak menyukai hal-hal yang rendah.” [HR. Thabrani]

Dalam banyak dalil, Allah dan Rasul-Nya telah memotivasi kita untuk optimis dalam bercita-cita. Perhatikanlah doa orang-orang yang dipuji oleh Allah,

“Dan orang orang yang berkata, Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’” [QS. Al Furqan: 74]

Kedudukan muttaqin memang sudah istimewa. Tapi ternyata, doa yang dipanjatkan bukan saja menjadi muttaqin, tapi imam atau pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Ini menunjukkan optimisme yang tinggi, himmah dan semangat yang luar biasa untuk meraih derajat yang agung.
Nabi juga menganjurkan kita,

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَسَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ ، وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Jika engkau memohon jannah kepada Allah, maka mohonlah Firdaus karena Firdaus adalah jannah yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya adalah Arsy Ar-Rahman, dan darinya pula sungai-sungai jannah mengalir..” [HR Bukhari].

Sungguh beruntung orang yang masuk jannah, tak ada sedikitpun yang membuatnya susah atau menderita, meskipun seseorang mendapatkan jannah pada tingkatan yang paling bawah. Tapi, ternyata Nabi menghasung kita memohon kepada kita jannah yang paling tinggi derajatnya. Karena permohonan yang merupakan ungkapan dari cita-cita itu akan mendorong seseorang untuk berusaha mencurahkan segala potensinya untuk meraih tujuannya yang mulia.

Sehebat Apakah Cita-Citamu?
Sekarang, kita lihat seberapa hebat cita-cita kita. Mumpung masih ada waktu untuk merevisinya, masih ada peluang untuk menata ulang rencana dan usaha. Dan sebagai akhir kalam, saya cukupkan Anda dengan satu sampel yang bisa kita jadikan sebagai referensi dalam memancangkan cita-cita. Adalah Imam Ibnu al-Jauzi, sejak kecil memiliki obsesi yang tinggi dalam hal ilmu. Hingga mendorongnya melakukan usaha yang luar biasa, dan hasil yang dicapainya, sulit pula diimbangi oleh orang sezamannya, dan juga setelahnya. Dia bercerita, “Saya merasakan nikmatnya mencari ilmu, hingga penderitaan di jalan ilmu bagi saya lebih manis dari madu, karena besarnya harapan saya untuk mendapatkan ilmu. Di waktu kecil saya membawa bekal roti kering untuk mencari hadits. Saat istirahat di pinggir sungai, saya tidak bisa makan roti itu saking kerasnya. Satu-satunya cara, saya celupkan roti itu ke sungai, baru aku bisa memakannya. Sekali menelan, saya ikuti dengan meminum air sungai. Kesusahan itu tidak terasa, karena yang ada di benakku hanyalah kelezatan saat mendapatkan ilmu.”
Adapun hasilnya, beliau pernah memotivasi puteranya dan berkata, “Dengan jariku ini, aku pernah menulis 2000 jilid buku, seratus ribu orang bertaubat, dan ada 20.000 orang yang masuk Islam dengan sebab dakwahku.” Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Sumber: http://pusdamm.blogspot.co.id/2011/02/dahsyatnya-cita-cita.html

Departemen Syiar
Pusdamm BEM FBS UNM
1439 H / 2017 M

Bergetarkah Hati Kita?

Tags



Pernahkah kita merasakan qolbu bergetar tatkala membaca Al-Qur’an? Kemudian kulit kita merinding, rambut-rambut halus di sekujur tubuh berdiri, suara tiba-tiba menjadi serak, lalu air mata meleleh dan dada terasa lapang setelahnya? Betapa nikmatnya ketika kita dapat merasakannya, baik saat shalat maupun membaca Al-Qur’an di luar shalat. Mengapa perasaan seperti itu tidak datang setiap waktu? Apakah situasi seperti secara mutlak mawaahib dimana kita tidak dapat mengusahakannya, atau sesuatu yang makaasib dimana dapat kita rekayasa untuk menghadirkannya?
  

Mengapa pada suatu saat hati dapat bergetar ketika dibacakan ayat-Nya, kulit merinding, qolbu menjadi luluh untuk kemudian mengingat Allah,..... tetapi pada waktu yang lain tidak? Sedangkan telinga yang digunakan untuk mendengarkan adalah telinga yang sama, lidah yang kita pakai untuk membaca juga lidah yang sama, dan hati yang digunakan untuk memahami adalah hati yang sama? Bahkan ayat yang kita dengarkan juga ayat yang sama? Tetapi mengapa atsarnya berbeda-beda?
            
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang menyimpan kekuatan potensial untuk menggerakannya. Kekuatan potensial itu akan nyata ketika bertemu dengan qolbu yang hidup, yang kondusif untuk itu. Jika bertemu dengan qolbu yang kehilangan daya hidup, apalagi yang mati, maka potensi kekuatan untuk menggerakkan tersebut tetap bersifat potensial, tapi tidak menjadi nyata. Allah membuat permisalan, seandainya gunung (batu) yang kuat dan keras itu dikaruniai akal dan nalar, maka akan tunduk dan terpecah-belah ketika mendengarkan Al-Qur’an, karena takut kepada Allah; takut tidak dapat memenuhi hak-Nya dan khawatir kurang dalam mengagungkan-Nya.

Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)

Hal itu mengandung celaan kepada manusia yang dikaruniai qolbu, akal, pikiran, perasaan dan dapat membedakan yang haqq dari yang bathil, tetapi tidak tergerak ketika mendengarkan Kalam-Nya.

Yang bergetar, Yang Penuh Iman
Ada beberapa faktor yang berpengaruh secara bersamaan, sehingga menghasilkan situasi yang pada suatu saat berbeda dengan saat yang lain. Kalam-Nya yang mulia tidak berubah, tetapi lidah yang membacanya, telinga yang mendengarkannya dan hati yang memahaminya berada pada situasi yang berubah-ubah. Qolbu yang hidup adalah yang bersemayam di dalamnya iman yang kuat, keimanan yang menggerakannya untuk melakukan ketaatan kepada-Nya, dia melakukannya hanya karena-Nya, dengan meneladani Nabi-Nya, yakin terhadap janji-Nya dan takut kepada kemurkaan adzab-Nya. Qobu yang seperti ini akan mendengarkan apa yang memberikan manfaat dan meninggalkan apa yang mendatangkan kerusakan. Lisannya digerakan hanya untuk perkara yang mendatangkan kebaikan dan meninggalkan apa yang mengakibatkan keburukan baginya.

            Setiap kebaikan yang dikerjakan dan pencegahan keburukan yang dilakukan oleh telinga dan lidahnya adalah tambahan bagi kekuatan iman yang telah bersemayam di dalam qolbunya. Begitulah, sehingga kebaikan bertambah-tambah dan kehidupan qolbu terus menyubur. Qolbu, telinga dan lidah yang berada pada kondisi seperti itulah yang ketika lidahnya memperdengarkan kalam-Nya, telinganya mendengarkan lantunan ayat-Nya, kemudian qolbu memhaminya, maka akan hadir situasi yang seperti digambarkan dalam firman-Nya:

“Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepara Robbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan qolbu mereka mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya pemberi petunjuk.” (Az-Zumar: 23)

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanannya” (Al-Anfaal: 2)

            Sesungguhnya, jika semua faktor yng mempengaruhi datangnya situasi itu terus ada, tidak mengalami degradasi, sensasi qolbu yang bergetar tatkala mendengarkan lantunan kalam-Nya juga akan terus berulang. Hati yang hidup itu akan menghasilkan produknya. Jika ada kemungkinan di luar itu, hanya jika qolbu mengalami kebosanan, jenuh. Tetapi Al-Qur’an yang diturunkan dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menjamin terciptanya situasi akan terus berulang dalam suasana berbeda-beda ketika ayat-ayat Al-Qur’an itu terus dibaca.

            Qolbu Yang Sakit Ketika Mendengar Al-Qur’an
            Jika qolbu yang mendengarkan berbagai ayat yang menggugah tersebut beku (qolbu yang sama sekali mati, hati orang-orang kafir), hati tersebut samasekali tak terpengaruh dan tidak tergetar meski yang membacakannya seorang Nabi. Dikarenakan pada hati yang mayyit(mati) ada segelnya, sehingga seruan itu tidak dapat masuk, betapapun menggugahnya. Hati yang seperti ini terbungkusron(kerak) akibat pengingkarannya kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan hari pertemuan dengan-Nya. Hati yang terkunci mati dan tersegel rapat. Wal’iyadzu billah.

            Ada pula jenis qolbu yang yang tidak mati, tetapi juga tidak dalam keadaan sehat dan hidup seperti hati orang-orang yang benar keimanannya, yakni hati yang sedang sakit atau qolbun maridh. Seruan Al-Qur’an tidak mampu menggugah dan menggerakannya, karena qolbu tidak memiliki daya hidup yang cukup untuk merespon seruan yang menghidupkan tersebut. Kuat lemahnya pengaruh yang ditimbulkan tergantung seberapa parah sakit yang menderanya.

            Jika kondisi ini segera disadari, dan dilakukan terapi dengan taubat, secara berangsur hati akan kembali membaik. Musibahnya, jika dibiarkan saja maka akan terjadi degradasi iman yang tidak terbendung. Jika sudah begitu, tatkala membaca Al-Qur’an kemudian menemukan ayat janji, syaithan pun dengan mudah mengelabuinya. Seakan janji-janji itu untuk dirinya sedangkan ancaman yang ada untuk orang lain. Ketika mendapati sifat-sifat jannah dan penghuninya seolah dirinyalah yang dimaksud. Sebaliknya ketika mendapati ayat-ayat tentang neraka dan ahlinya, maka orang lain yang dimaksud, sedangkan dirinya selamat dari hal itu. Wal-‘iyaadzu billah.

Sumber : http://pusdamm.blogspot.co.id/2011/05/bergetarkah-hati-kita.html

Departemen Syiar
Pusdamm BEM FBS UNM
1439 H/ 2017 M

Sabtu, 11 November 2017

Kisah Nabi Musa Alaihissalam

Tags


Nabi Musa Alaihissalam diutus untuk berdakwah di negeri Mesir, dan mengajak Bani Israil menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Musa dan Harun adalah keturunan ke-4 dari Nabi Ya’qub Alaihissalam yang tinggal di Mesir sejak Nabi Yusuf berkuasa disana.

Mesir saat itu dikuasai oleh Fir’aun. Penduduknya terdiri dari 2 bangsa, yaitu penduduk asli Mesir yang disebut sebagai orang Qubti, dan orang Israil, yaitu keturunan Nabi Ya’qub Alaihissalam. 

Kebanyakan orang Qubti menduduki jabatan-jabatan tinggi, sedang orang Israil hanya berkedudukan rendah, seperti buruh, pelayan dan pesuruh.

Firaun memerintah dengan tangan besi. Ia diktator bengis yang tidak berperi kemanusiaan. Mabuk dan rakus kekuasaan, sampai-sampai ia berani menyebut dirinya sebagai Tuhan.

Kekejaman Fir’aun membunuh bayi laki-laki
Suatu ketika, Fir’aun bermimpi, yang oleh dukun peramalnya mimpi itu diartikan dengan akan lahirnya seorang bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan merampas kekuasaan raja. Seketika itu Fir’aun menginstruksikan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.

Ibu Musa, Yukabad, istri Imron bin Qahat bin Lewi bin Ya’qub Alaihissalam, merasa sangat gelisah karena begitu ketatnya penyelidikan para petugas. Suatu ketika ibu Musa mendapat petunjuk melalui mimpinya agar anaknya yang berusia 3 bulan dimasukkan ke dalam kotak lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjamin bahwa bayinya pasti akan selamat, bahkan Yukabad kelak tetap akan dapat merawatnya.

Isyarat itu dilaksanakan dengan penuh ketabahan dan tawakal. Kakak Musa diperintahkan untuk mengikuti kemana peti itu hanyut dan di tangan siapakah Musa nanti ditemukan. Kotak yang berisi bayi itu tiba-tiba tersangkut di pohon dan berhenti di belakang rumah Fir’aun. Puteri Fir’aun menemukan peti tsb, dan ia adalah seorang yang berpenyakit belang. Ketika menyentuh Musa, mendadak penyakitnya sembuh. Dengan perasaan gembira ia membawa peti itu kepada Asiah, istri Fir’aun, dan memberitahu apa yang telah terjadi. Asiah mengambil bayi itu dan berniat untuk memeliharanya.

Asiah adalah seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun lantaran takut oleh kekejaman Fir’aun, ia menyembunyikan keimanannya. Ketika itu Fir’aun mendengar adanya wanita cantik bernama Asiah, dan ia pun menikahinya. Namun tatkala ia hendak menggauli istrinya itu, seluruh badannya tiba-tiba menjadi kaku sehingga ia pun tidak bisa mendekatinya, hanya bisa memandangnya.

Fir’aun merasa curiga terhadap bayi yang ditemukan istrinya, tetapi Asiah tetap bersikeras untuk memeliharanya karena ia sudah lama mendambakan anak. Bayi itu oleh Asiah diberi nama Musa, yang artinya air dan pohon (mu = air, sa = pohon).

di antara sejumlah inang pengasuh pilihan Asiah, bayi Musa hanya mau menyusu pada Yukabad, sehingga Asiah akhirnya menerima Yukabad sebagai inang pengasuh Musa. Dengan demikian janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa Yukabad tetap akan mendapatkan kembali bayinya terpenuhi.
Kisah ini dapat ditemui dalam surat Al-Qasas: 4-13.

Musa meninggalkan Mesir
Setelah selesai masa penyusuan bersama ibunya, Musa dikembalikan lagi ke istana Fir’aun. Ia dipelihara sebagaimana anak-anak raja yang lain. Berpakaian seperti Fir’aun, mengendarai kendaraan Fir’aun, sehingga ia dikenal sebagai Pangeran Musa bin Fir’aun.

Walaupun dididik dalam tradisi istana, sejak kecil Musa memahami bahwa ia bukan anak Fir’aun melainkan keturunan Bani Israil yang tertindas. Karena prihatin terhadap nasib rakyat yang dianiaya oleh keluarga raja dan para pembesar kerajaan, Musa bertekad untuk membela kaumnya yang lemah.

Suatu saat tindakan Musa membela seorang anggota kaumnya yang berkelahi melawan seorang dari golongan Fir’aun menyebabkan yang terakhir ini tewas. Seorang saksi yang melihat kejadian itu lalu melaporkan pada Fir’aun. Mengetahui bahwa Musa membela orang Israil, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk menangkap Musa. Akhirnya Musa melarikan diri dan memutuskan untuk meninggalkan Mesir. Ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Saat itu ia berusia 18 tahun.
Kisah ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 14-21.

Musa pergi ke Madyan, kota tempat tinggal Nabi Syu’aib Alaihissalam. Dari Mesir ke Madyan harus ditempuh berjalan kaki selama 8 hari. Karena kelelahan dan merasa lapar, Musa beristirahat di bawah pepohonan. Tak jauh dari tempatnya beristirahat, ia melihat dua orang gadis berusaha berebut untuk mendapatkan air di sumur guna memberi minum ternak yang mereka gembalakan. Kedua gadis itu berebutan dengan sekelompok pria-pria kasar yang tampak tidak mau mengalah.
Melihat itu, Musa segera bergerak menolong kedua gadis tsb. Laki-laki kasar tadi mencoba melawan Musa, tapi Musa dapat mengalahkan mereka.

Musa menikah
Kedua gadis ini tak lain adalah putri-putri Nabi Syu’aib Alaihissalam. Mereka lalu melaporkan kejadian yang telah dialami bersama Musa kepada ayah mereka. Syu’aib lalu menyuruh kedua putrinya untuk mengundang Musa datang ke rumah mereka.

Musa memenuhi undangan itu. Keluarga Syu’aib sangat senang melihat Musa. Sikapnya sopan dan tampak sekali ia seorang pemuda bermartabat dari kalangan bangsawan. Kepada Syu’aib, Musa menceritakan peristiwa pembunuhan yang telah dilakukannya, yang menyebabkan ia terusir dari Mesir. Syu’aib menyarankan agar ia tetap tinggal di rumahnya agar terhindar dari kejaran orang-orang Fir’aun.

Syu’aib bermaksud menikahkan Musa dengan salah seorang putrinya. Sebagai syarat mas kawin, Musa diminta bekerja menggembalakan ternak-ternak milik Nabi Syu’aib selama 8 tahun. Musa menyanggupi syarat tsb, bahkan ia menggenapkan masa kerjanya menjadi 10 tahun. Ia menjalani pekerjaannya dengan sabar. Selama itu, nampaklah oleh keluarga Syu’aib bahwa Musa adalah pemuda yang kuat, perkasa, jujur dan dapat diandalkan. Tak salah jika Nabi Syu’aib mengambilnya sebagai menantu.

Musa sangat bahagia hidup bersama istrinya. Nabi Syu’aib juga lega karena anaknya mendapat pelindung yang dapat dipercaya.
Kisah tentang hal ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 22-28.

Musa kembali ke Mesir
Sepuluh tahun setelah meninggalkan Mesir, Musa berniat kembali ke sana bersama istrinya. Musa sadar, tidak mustahil bahwa orang-orang Mesir masih akan mencarinya, oleh sebab itu ia dan istrinya tidak berani melalui jalan biasa melainkan memilih jalan memutar.

Sampai suatu malam, mereka tersesat tak tahu arah mana yang harus ditempuh untuk meneruskan perjalanan ke Mesir. Saat itulah Musa melihat ada cahaya api terang benderang di atas sebuah bukit. Musa berkata kepada istrinya, “Tunggu disini, aku akan mengambil api itu untuk menerangi jalan kita.”

Tatkala Musa menghampiri api tsb, tiba-tiba terdengar suara menyeru, “Hai Musa! Aku ini adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah suci Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”

Inilah wahyu pertama yang diterima langsung oleh Nabi Musa Alaihissalam. Dengan diterimanya wahyu ini, maka Musa telah diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Sebagai rasul, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberinya mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangannya yang dapat bersinar putih cemerlang setelah dikepitkan di ketiaknya.
Kisah ini dapat dilihat pada surat Tâhâ: 9-23.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berdakwah kepada Fir’aun. Musa masih merasa takut karena dulu ia pernah membunuh orang Mesir, namun Allah menjanjikan perlindungan untuknya, maka tentramlah hatinya. Untuk lebih memantapkan dakwahnya, Musa memohon kepada Allah agar ia ditemani oleh Harun, saudaranya, karena Harun amat cakap dalam berbicara dan berdebat. Permintaan Musa dikabulkan. Harun yang masih berada di Mesir digerakkan hatinya oleh Allah sehingga ia berjalan menemui Musa.
Hal tsb dinyatakan dalam surat Al-Qasas: 32-35 dan surat Tâhâ: 42-47.

Akhirnya bersama-sama Harun, Musa menghadap Fir’aun. Ia mengadakan dialog dengan Fir’aun tentang Tuhan. Namun Fir’aun menanggapinya dengan sinis dan mengejek Musa tak tahu diri. Dulu ia diasuh dan dibesarkan di istana Mesir, tapi kini ia malah berbalik menentang Fir’aun. Musa menjawab bahwa semua itu terjadi disebabkan karena ulah Fir’aun sendiri. Seandainya Fir’aun tidak memerintahkan membunuh bayi laki-laki, tidak mungkin ia dihanyutkan di sungai Nil sampai akhirnya ditemukan dan diangkat anak oleh istri Fir’aun. Musa tidak merasa berhutang budi pada Fir’aun.

Musa mengatakan bahwa sesungguhnya Fir’aun bukanlah Tuhan. Ada Tuhan lain yang berhak disembah, Tuhan nenek moyang mereka, Tuhan seluruh alam semesta. Fir’aun sangat murka dan meminta Musa untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran Tuhan.

Keberhasilan Musa melawan ahli-ahli sihir Fir’aun
Di depan masyarakat luas, Nabi Musa Alaihissalam dapat menunjukkan mukjizatnya menghadapi ahli-ahli sihir Fir’aun. Musa mempersilakan ahli-ahli sihir Fir’aun untuk mempertunjukkan kebolehan mereka lebih dulu. Mereka lalu melemparkan tali dan tongkat-tongkatnya. Tak lama kemudian tali-tali dan tongkat-tongkat itu berubah menjadi ular yang ribuan ekor banyaknya. Fir’aun tertawa bangga menyaksikan kebolehan para ahli sihirnya. Masyarakat yang hadir disana juga terkagum-kagum.

Dengan tenang Musa melemparkan tongkatnya, tongkat itu segera berubah menjadi ular yang sangat besar dan langsung melahap ular-ular para ahli sihir Fir’aun. Dalam waktu singkat, ular-ular itu habis ditelan oleh ular Nabi Musa.

Para ahli sihir itu terbelalak heran. Apa yang diperlihatkan Musa bukanlah seperti sihir yang mereka pelajari dari syaitan. Sadar akan hal itu, para ahli sihir tsb berlutut kepada Musa, dan menyatakan diri sebagai pengikut ajaran yang dibawanya. Mereka bertaubat dan hanya akan menyembah Allah saja.
Kisah ini dijelaskan dalam surat Asy-Syu’arâ’: 18-51

Fir’aun sangat murka melihat pembelotan para ahli sihir yang telah bertaubat itu. Ia mengancam akan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat kejam, namun para ahli sihir itu tetap memilih menjadi pengikut Musa. Akhirnya Fir’aun memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, serta menyalib mereka di batang pohon kurma. Mereka pun menerimanya dengan sabar dan tetap beriman kepada Allah. Jumlah mereka saat itu 70 orang.

Azab bagi Fir’aun dan pengikutnya
Kejengkelan Fir’aun memuncak setelah Nabi Musa Alaihissalam memperoleh pengikut yang lebih banyak. Fir’aun menjadi semakin kejam terhadap Bani Israil. Nabi Musa Alaihissalam senantiasa menyuruh kaumnya untuk bersabar menghadapi kesewenang-wenangan Fir’aun. Fir’aun pun tak henti-hentinya mengejek dan menghina Musa.

Karena semakin lama tindakan Fir’aun makin merajalela, Nabi Musa Alaihissalam berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar Fir’aun dan pengikutnya diberi azab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan doa Musa. Kerajaan Fir’aun dilanda krisis keuangan. Selain itu wilayah Mesir dilanda kemarau panjang. Banyak panen yang gagal, tanaman dan pepohonan banyak yang mati, disusul badai topan yang merobohkan rumah-rumah mereka. Jutaan belalang berdatangan menyerbu hewan dan perkebunan, juga kutu dan katak. Setelah kemarau, muncul banjir besar. Akibat banjir itu kemudian juga muncul wabah penyakit. Anak laki-laki bangsa Mesir mendadak mati, tak terkecuali anak-anak Fir’aun sendiri, termasuk putra mahkota.

Pengikut Fir’aun mendatangi Nabi Musa Alaihissalam untuk memohon agar azab itu dicabut dari mereka dengan janji mereka akan beriman. Namun ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan permintaan itu, mereka ingkar terhadap janjinya.
Riwayat ini terdapat dalam surat Al-Mu’minûn: 26, Az-Zukhruf: 51-54, Yûnus: 88-89, dan Al-A’râf: 130-135.

Peristiwa Laut Merah terbelah
Bani Israil yang makin menderita karena ulah Fir’aun dan pengikutnya meminta Nabi Musa Alaihissalam untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Setelah mendapat wahyu dari Allah agar mengajak kaumnya pergi meninggalkan Mesir, Musa lalu membawa kaumnya ke Baitulmakdis. Mereka pergi secara diam-diam di malam hari. Ketika sampai di tepi Laut Merah, mereka baru menyadari bahwa tentara Fir’aun mengejar mereka. Para pengikut Musa sangat panik karena tidak bisa lari kemana pun. Saat itulah turun wahyu agar Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Laut pun membelah hingga terbentang jalan bagi Musa dan pengikutnya untuk menyeberang. Fir’aun dan tentaranya mengejar rombongan itu, namun ketika Musa dan pengikutnya telah sampai di tepi sementara Fir’aun dan tentaranya masih di tengah laut, atas perintah Allah laut pun kembali menutup hingga Fir’aun dan pasukannya tenggelam.

Di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, Fir’aun sempat bertaubat dan menyatakan diri beriman kepada Allah. Namun taubat menjelang ajal yang dilakukan oleh Fir’aun itu sudah terlambat dan tidak lagi diterima oleh Allah, sehingga matilah ia dalam keadaan tetap kafir.
Kisah tentang ini terdapat dalam surat Tâhâ: 77-79, Asy-Syu’arâ: 60-68, dan Yûnus: 90-92.

Ternyata, mayat Fir’aun tetap utuh sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yûnus: 92, sebagai tanda bagi umat yang kemudian. Ini telah terbukti dengan diketemukannya mummi Fir’aun (Pharaoh) di Mesir pada abad ke-20 M.

Karunia bagi Bani Israil
Dalam perjalanan ke Mesir, Bani Israil sangat manja. Saat mereka haus, Musa memukulkan tongkatnya ke batu. Dari batu tsb, memancarlah 12 mata air, sesuai dengan jumlah suku (sibith) Bani Israil, sehingga masing-masing suku memiliki mata air sendiri.

Di Gurun Sinai yang panas terik, tak ada rumah untuk dihuni, tak ada pohon untuk berteduh, maka Allah menaungi mereka dengan awan.

Ketika bekal makanan dan minuman mereka habis, mereka pun meminta Musa memohon pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar diberikan makanan dan minuman, maka Allah menurunkan kepada mereka Manna dan Salwa. Manna adalah makanan yang turun dari udara seperti turunnya embun, turun di atas batu dan daun pohon. Rasanya manis seperti madu. Sedang Salwa adalah sejenis burung puyuh yang datang berbondong-bondong silih berganti sampai-sampai hampir menutupi bumi lantaran banyaknya.

Mendapat karunia dan rezki yang demikian melimpahnya dari Allah, Bani Israil bukannya bersyukur, malah mereka meminta makanan dari jenis yang lain lagi. Disinilah mulai terlihat betapa Bani Israil itu sangat kufur terhadap nikmat Allah.
Berbagai tuntutan dan permintaan dari Bani Israil ini diceritakan dalam surat Al-A’râf: 160 dan Al-Baqarah: 61.

Turunnya kitab Taurat
Setelah persoalan dengan Fir’aun selesai, Nabi Musa Alaihissalam memohon untuk diberikan kitab suci sebagai pedoman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk berpuasa selama 30 hari dan pergi berkhalwat ke Bukit Thur Al-Aiman atau Thursina. Sebelum pergi, Musa meminta Harun menjadi wakilnya untuk mengurus kaumnya.

Setelah berpuasa selama 30 hari, Allah memerintahkannya berpuasa 10 hari lagi untuk menggenapkan ibadahnya menjadi 40 hari. Setelah itu Allah berbicara kepadanya dengan Kalam-Nya yang Azali, sehingga Musa pun memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia lain.

Dalam kesempatan bermunajat di Bukit Thursina ini, timbul kerinduan Musa untuk bertemu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia pun meminta agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengizinkan dirinya untuk melihat Zat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan bahwa ia telah meminta sesuatu yang diluar kesanggupannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian menyuruh Musa untuk melihat ke sebuah bukit. Allah akan menampakkan wujudnya kepada bukit itu. Jika bukit itu tetap tegak berdiri, maka Musa dapat melihat-Nya, namun jika bukit yang lebih besar darinya itu tak mampu bertahan, maka lebih-lebih lagi dirinya. Ketika Musa mengarahkan pandangan ke bukit tsb, seketika itu juga bukit itu hancur luluh. Melihat itu Musa merasa terkejut dan ngeri, ia pun jatuh pingsan.

Setelah sadar, ia bertasbih dan bertahmid seraya memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas kelancangannya. Selanjutnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kitab Taurat sebagai kitab suci yang berupa kepingan-kepingan batu. Di dalamnya tertulis pedoman hidup dan penuntun beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kisah munajat Nabi Musa Alaihissalam di Bukit Thursina ini diceritakan dalam surat Al-A’râf: 142-145.

Patung anak sapi
Sepeninggal Nabi Musa Alaihissalam, Bani Israil dihasut oleh seorang munafik bernama Samiri. Karena keyakinan tauhid mereka yang memang belum terlalu tebal, dengan mudah mereka termakan hasutan Samiri. Bani Israil membuat patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan mereka.

Sebelum pergi ke bukit Thursina, Musa berkata kepada kaumnya bahwa ia akan meninggalkan mereka tidak lebih dari 30 hari. Ketika Allah memerintahkannya untuk menambah ibadahnya 10 hari lagi sehingga bertambah lama kepergiannya, maka mereka menganggapnya telah melupakannya. Samiri mengatakan kepada Bani Israil bahwa keterlambatan Musa ini disebabkan karena mereka telah membuat marah Tuhan dengan mengambil perhiasan-perhiasan dari kuburan orang-orang Mesir. Maka untuk meminta ampun kepada Tuhan dan agar Musa mau kembali pada mereka, mereka harus melemparkan perhiasan-perhiasan tsb ke dalam api.

Mereka pun percaya dengan hasutan Samiri. Para wanita-wanita Bani Israil lalu melemparkan perhiasan-perhiasan emas mereka ke dalam api. Dari emas yang terkumpul itu Samiri lalu membuat patung anak sapi. Dengan teknik khusus, ia membuat angin bisa masuk dan menimbulkan suara dari mulut patung itu sehingga seolah-olah patung itu dapat berbicara. Kemudian Samiri menyuruh Bani Israil untuk menyembahnya.

Nabi Harun Alaihissalam tidak berdaya menghadapi kaumnya yang kembali murtad itu. Ketika Nabi Musa Alaihissalam kembali, ia sangat marah dan bersedih hati melihat perilaku kaumnya. Mula-mula ia pun marah kepada Harun yang dianggapnya tidak bisa menjaga kaumnya dengan baik, namun setelah mendengar penjelasan dari Harun, ia pun tenang kembali. Ia mengusir Samiri dan menjelaskan pada kaumnya tentang perbuatan mereka yang salah. Sebagai hukuman, Samiri diberi kutukan oleh Allah, jika ia disentuh atau menyentuh manusia, maka badannya akan menjadi panas demam. Itulah azab Samiri di dunia, seumur hidupnya ia tidak bisa berhubungan dengan siapa pun.

Setelah Samiri pergi, Musa membakar patung anak sapi sembahan Bani Israil dan membuang abunya ke laut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian memerintahkan Musa Alaihissalam agar membawa sekelompok kaumnya untuk memohon ampun atas dosa mereka menyembah patung anak sapi. Musa mengajak 70 orang terpilih dari Bani Israil ke Bukit Thursina. Setelah mereka berpuasa menyucikan diri, muncullah awan tebal di bukit itu. Nabi Musa Alaihissalam dan rombongannya memasuki awan gelap itu dan bersujud. Ketika bersujud, 70 orang itu mendengar percakapan antara Nabi Musa Alaihissalam dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Timbul keinginan mereka untuk melihat Zat Allah. Bahkan mereka menyatakan tidak akan beriman sebelum melihat-Nya. Seketika itu pula tubuh mereka tersambar halilintar hingga mereka pun tewas.

Nabi Musa Alaihissalam memohon agar kaumnya diampuni dan dihidupkan kembali. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun membangkitkan kembali 70 orang pengikut Musa itu. Musa lalu menyuruh mereka bersumpah untuk berpegang teguh pada kitab Taurat sebagai pedoman hidup, dan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Cerita ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al-A’râf: 149-155 dan Al-Baqarah: 55, 56, 63, 64.

Sapi Betina (Al Baqarah)
Suatu hari terjadi peristiwa pembunuhan di antara kaum Nabi Musa. Untuk mengetahui siapa pembunuh orang tsb, atas petunjuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Musa memerintahkan kaumnya untuk mencari seekor sapi betina. Dengan lidah sapi itu nantinya mayat yang terbunuh akan dipukul dan akan hidup lagi atas kehendak dan izin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kaum Bani Israil sebenarnya enggan melaksanakan perintah ini, karenanya mereka sangat cerewet dan banyak bertanya dengan harapan supaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akhirnya membatalkannya, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah: 67-71.

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka berkata: Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. (QS. 2:67)

Mereka menjawab: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu? Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. (QS. 2:68)

Mereka berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya. Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (QS. 2:69)

Mereka berkata: Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu). (QS. 2:70)

Musa berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya. Mereka berkata: Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. 2:71)

Nama surat Al-Baqarah yang berarti sapi betina diambil karena dalam surat ini terdapat kisah penyembelihan sapi betina.
Dapat dilihat pada ayat-ayat tsb bahwa sikap Bani Israil yang cerewet justru telah menyulitkan mereka sendiri. Seandainya ketika diperintahkan pertama kali mereka langsung melaksanakannya, tentulah mereka tidak akan repot, tetapi mereka malah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumit sehingga hampir saja mereka tidak dapat menemukan sapi sesuai ciri-ciri yang diterangkan oleh Musa.

Begitu sapi sudah diperoleh, mereka lalu menyembelihnya dan lidah sapi itu dipukulkan ke tubuh mayat orang yang terbunuh. Seketika itu ia menjadi hidup kembali dan menceritakan bahwa ia telah dibunuh oleh sepupunya sendiri.

Allah mengharamkan tanah Palestina bagi Bani Israil
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam membawa kaumnya ke Palestina, tempat suci yang telah dijanjikan bagi Nabi Ibrahim Alaihissalam sebagai tempat tinggal anak cucunya. Bani Israil yang telah mendapat berbagai karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kaum yang keras kepala dan tidak bersyukur.

Sebelum mengajak kaumnya berhijrah, Musa mengutus perintis jalan untuk menyelidiki tentang penduduk penghuni Palestina. Ketika kembali, para perintis jalan itu mengabarkan bahwa tanah suci tsb dihuni oleh suku Kana’an yang kuat-kuat, dan kota-kotanya memiliki benteng yang kokoh. Mengetahui hal itu, merasa gentarlah Bani Israil dan tidak mau mematuhi perintah Musa untuk menyerang. Mereka hanya mau kesana jika suku itu telah disingkirkan terlebih dahulu.

Nabi Musa Alaihissalam sangat marah terhadap sikap kaumnya itu, karena sikap tsb mencerminkan bahwa mereka belum benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berjanji bahwa dengan pertolongan-Nya mereka akan mampu mengalahkan suku Kana’an. Di antara Bani Israil itu, ada 2 orang bertakwa yang menasihati mereka agar masuk dari pintu kota supaya mereka bisa menang. Akan tetapi Bani Israil menolak nasihat itu dan melontarkan kepada Musa kalimat yang menunjukkan pembangkangan dan sifat pengecut, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, sementara kami menunggu di sini.”

Habislah kesabaran Musa. Ia lalu memanjatkan doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan putusan-Nya atas sikap kaumnya. Sebagai hukuman bagi Bani Israil yang menolak perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengharamkan wilayah Palestina selama 40 tahun bagi mereka. Mereka akan tersesat, padahal tanah yang dijanjikan sudah ada di depan mata. Selama itu mereka akan berkeliaran di muka bumi tanpa memiliki tempat bermukim yang tetap.
Hal ini dikisahkan dalam surat Al-Maidah: 20-26.

Pertemuan Musa dengan orang saleh
Pada suatu kesempatan berkhutbah di hadapan kaumnya, Nabi Musa Alaihissalam mengatakan bahwa dirinyalah yang paling pandai dan berpengetahuan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegur sikapnya ini dan berfirman, “Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di tepi laut yang lebih pandai darimu.”
Berkatalah Musa, “Wahai Tuhanku, apa yang harus kuperbuat untuk bertemu dengannya?”
Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan kecil dan letakkan di dalam keranjang. Dimanapun engkau kehilangan ikan itu, maka disitulah ia berada.”

Musa melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya. Ia mengambil seekor ikan kecil, kemudian ia pergi dengan ditemani seorang sahayanya. Saat mereka tiba di pertemuan antara dua buah laut, mereka duduk sejenak untuk beristirahat. Tertidurlah mereka, sementara saat itu turun hujan sehingga ikan yang mereka bawa dapat melompat dan meluncur ke laut.

Sahaya Musa mengetahui hal ini, namun ia lupa memberitahukannya kepada Musa. Mereka terus melanjutkan perjalanan. Ketika mereka merasa lapar dan hendak makan, saat itulah sahaya Musa teringat akan ikan yang hilang itu, maka ia pun memberitahu Musa. Mendengar itu Musa sangat gembira. “Inilah yang kita cari. Mari kita kembali untuk mengikuti jejak dimana ikan itu hilang.”

Belum sampai di tempat yang dituju, Musa telah bertemu dengan orang yang dimaksud. Hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang saleh itu dikenal dengan nama Nabi Khidir Alaihissalam. Nabi Musa Alaihissalam yang ingin belajar dari hamba-Nya yang saleh itu meminta agar diizinkan mengikuti Nabi Khidir. Nabi Khidir menjawab bahwa ia tidak akan dapat sabar atas keikutsertaannya, karena ia akan melihat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariatnya. Namun Musa berkata bahwa ia akan bersabar dan tidak akan menentang urusan Nabi Khidir. Akhirnya Nabi Khidir mengizinkan Musa untuk mengikutinya, namun dengan syarat bahwa Musa tidak boleh mempertanyakan tindakan-tindakan yang akan dilakukannya, karena pada akhirnya ia akan menceritakan rahasia di balik tindakan-tindakannya itu.

Pergilah Musa bersama Nabi Khidir menyusuri tepi laut. Tiba-tiba lewat di depan mereka sebuah kapal, maka keduanya meminta kepada penumpang-penumpangnya untuk mengangkut mereka. Mereka diizinkan menumpang, lalu keduanya pun naik ke kapal itu. Saat para penumpang lengah, Nabi Khidir melubangi dinding kapal yang terbuat dari kayu itu sedemikian rupa sehingga kerusakannya akan mudah untuk diperbaiki. Musa yang melihat kejadian ini merasa ngeri dan tanpa sadar ia lupa dengan perjanjiannya untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun, maka ia pun berkata, “Apakah engkau merusak kapal orang-orang yang telah menghormati kita? Engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.”

Nabi Khidir mengingatkan kepada Musa akan perjanjian mereka, maka sadarlah Musa, ia meminta supaya jangan dihukum atas kelupaannya ini. Keduanya lalu meneruskan perjalanan dan bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain bersama kawan-kawannya. Nabi Khidir lalu membujuk anak itu ikut dengannya dan membawanya ke tempat yang agak jauh dari teman-temannya, lalu ia membunuhnya. Panas hati Musa melihat perbuatan yang keji ini sehingga dengan marah ia berkata, “Apakah engkau membunuh jiwa yang suci bersih tanpa dosa? Engkau telah berbuat sesuatu yang mungkar.”

Nabi Khidir kembali mengingatkan Musa akan syarat yang berlaku antara keduanya. Musa menyesal atas ketidaksabarannya. Ia pun berkata, “Jika setelah ini aku bertanya lagi kepadamu, maka janganlah menemani aku, karena sudah cukup alasan bagiku untuk berpisah denganmu.”

Kemudian keduanya pun meneruskan perjalanan kembali. Saat merasa haus dan lapar, masuklah mereka ke sebuah desa. Mereka meminta kepada penghuninya supaya bersedia memberi mereka makan dan menjadikan mereka sebagai tamu, namun permintaan mereka ini ditolak dengan kasar oleh penghuni desa tsb.

Dalam perjalanan pulang, mereka mendapati sebuah dinding yang hampir roboh. Nabi Khidir lalu memperbaiki dinding yang roboh itu dan mendirikan bangunannya. Melihat ini, Musa tidak tahan lalu bertanya, “Apakah engkau mau membalas orang-orang yang telah mengusir kita dengan memperbaiki dinding rumah mereka? Andaikata engkau kehendaki, engkau bisa meminta upah atas pekerjaanmu untuk membeli makanan.”

Dengan timbulnya pertanyaan Musa ini, maka berpisahlah ia dengan Nabi Khidir. Namun sebelum berpisah, Nabi Khidir menjelaskan rahasia-rahasia perbuatannya. Ia berkata, “Mengenai kapal yang aku lubangi dindingnya, itu adalah kepunyaan beberapa orang miskin yang tidak punya harta selain itu, dan aku mengetahui bahwa ada seorang raja yang suka merampas setiap kapal yang baik dari pemiliknya. Sebab itu aku merusaknya sedikit supaya nantinya mudah diperbaiki lagi, dan bila raja melihatnya ia pun menduga kapal itu adalah kapal yang buruk sehingga ia akan membiarkannya pada pemiliknya dan selamatlah kapal itu pada mereka.

Mengenai anak kecil yang aku bunuh, ia adalah seorang anak yang menampakkan tanda-tanda kerusakan sejak kecil, sedang kedua orangtuanya adalah orang-orang yang beriman dan saleh. Aku khawatir rasa kasih sayang orangtua terhadap anaknya akan membuat mereka menyeleweng dari kesalehan mereka dan menjerumuskannya ke dalam kekafiran dan kesombongan, maka aku pun membunuhnya untuk menenangkan kedua orangtua yang beriman ini, dan anak yang jahat itu semoga akan diberi gantinya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan anak yang lebih baik dan lebih berbakti serta lebih sayang kepada kedua orangtuanya.

Adapun dinding rumah yang kudirikan, itu adalah milik dua anak yatim di kota itu yang di bawahnya terdapat harta terpendam kepunyaan mereka, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu yang Maha Pemurah ingin menjaga harta itu bagi mereka sampai mereka dewasa dan mengeluarkannya.

Semua yang kuperbuat itu bukanlah atas usahaku, melainkan itu adalah wahyu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan inilah penjelasan dari kejadian-kejadian yang mana engkau tidak bisa bersabar.”
Kisah pertemuan Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Khidir Alaihissalam ini terdapat dalam surat Al-Kahfi: 60-82.

Kisah Qarun dan hartanya
Tersebutlah seorang pengikut Nabi Musa Alaihissalam yang sangat kaya, yang bernama Qarun. Meskipun sangat kaya, namun ia tidak mau menyedekahkan hartanya bagi fakir miskin. Nasihat-nasihat Nabi Musa Alaihissalam tidak dipedulikannya, bahkan ia mengejek dan memfitnah Nabi Musa Alaihissalam.

Guna memberi pelajaran pada Qarun dan memberi contoh pada kaumnya, Musa memanjatkan doa agar Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan azabnya pada diri hartawan itu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala lalu memberi azab dengan menguburkan semua harta kekayaan beserta diri Qarun melalui bencana tanah longsor yang dahsyat.
Kisah Qarun dan hartanya ini terdapat dalam surat Al-Qasas: 76-82.

Larangan hari sabath
Sesuai dengan syariat dalam Taurat, Nabi Musa menentukan hari Sabtu sebagai hari untuk berkumpul dan beribadah. Pada hari itu kaum Bani Israil dilarang untuk melakukan usaha apa pun, termasuk berniaga dan mencari ikan. Namun pada hari Sabtu tsb justru ikan-ikan sangat banyak terlihat di laut.
Sesungguhnya ini merupakan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji keimanan dan ketaatan Bani Israil. Ternyata mereka tidak tahan dengan ujian ini dan melanggar larangan hari Sabath, oleh sebab itu Allah kemudian mengutuk sebagian mereka menjadi kera.
Hal ini disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 65 dan Al-A’râf: 166.

Sumber : http://pusdamm.blogspot.co.id/2014/03/musa-wa-harun.html

Departemen Syiar
Pusdamm BEM FBS UNM
1439 H/2017 M